Rabu, 27 Oktober 2010

Semilir Kabar Angin

Pernahkah terfikir olehmu?
ketika kita terlalu sibuk
dengan lembaran-lembaran buku,
goresan tinta dan pemburuan tiada akhir,

mencoba mengumpulkan ceceran ilmu dan nilai,
duduk dan menulis sepanjang waktu.

Pernahkah terlintas di benakmu?
untuk sejenak melihat keluar
mendengar desahan dan bisik angin?
yang menyampaikan kabar
dari seluruh daratan nusantara?

ketika tsunami menjadi kabar biasa,
gempa bumi menjadi sarapan sehari-hari.
ketika banjir menjadi sahabat sejati,

apakah kita tetap tenang-tenang saja?
membiarkan angin lewat dan hanya diam saja
masihkah ada kepedulian pada hati kita?

Dari hati yang terdalam,
aku, pemuda negri ini,
akan mendengar angin,
mendengarkan berita negri ini,
memelihara alam ini.


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 13 Oktober 2010

Tanah Asam Desaku.

Matahari mulai membakar ubun-ubun kami. Jam menunjukkan pukul 11 siang. Tidaklah habis penderitaan kami, menginap dipengungsian seadanya.
Kejadian kemarin sore bukanlah kejadian yang wajar. Bukan seperti wajarnya banjir, atau angin badai atau apapun. Kejadian itu hanya terjadi beberapa kali, masih dapat kita hitung dengan jari. Ya, Hujan Asam. Hujan yang memiliki pH kurang dari 6.5 ini terjadi di Desa kami, kampung Lalang. Memang hanya 15 menit berlangsung, tapi cukup untuk menghancurkan rumah kami yang mayoritas masih terbuat dari kayu beratapkan daun kering.
Rumahku sendiri hanya tinggal pondasi, kayunya berlubang-lubang. Ayahku bersama kepala Desa dan para Bapak-bapak berangkat sejak kemarin untuk meminta belas kasihan Pemerintah.
Desa X merupakan sebuah desa akibat Urbanisasi besar-besaran beberapa tahun yang lalu. Desa kami sangat dekat dengan kawasan Industri dan berada didataran yang lebih tinggi.
Panas sangat terik, aku bahakan nyaris tidak sanggup untuk menelan air ludah sendiri. Hujan asam membuat air tanah di Desa menjadi asam. Desa kami tidak memiliki sungai atau sesuatu yang mengalir, hanya ada danau dan kolam-kolam ikan. Dan semuanya berubah menjadi asam.
Kami para anak muda, disuruh untuk mengumpilkan kulit-kulit kerang dipinggir danau. Aku bersama temanku, Ami dan semua anak memiliki temannya masing-masing. Panas masih menyengat saat kami semua dipanggil untuk menegak air yang baru selesai dimasak. Kami-pun berhambur menuju tenda pengungsian yang teduh dan menegak air yang masih hangat itu
“Kok airnya tidak asam ya kak ?” tanyaku pada kak Tomo, sepupu jauhku.
“Kan sudah kakak saring pake kulit kerang, jadi asamnya sudah tidak terasa.” Jelasnya.
Aku mengangguk mengerti dan menyeka keringatku dengan handuk. Anak-anak lain berbaring ditanah beralaskan terpal itu, dan akupun ikut-ikutan. Aku mulai berfikir bagaimana kami selanjutnya. Ayah beserta orang tua yang lain belum juga kembali dari kota.
Ditengah rasa lelah dan dahaga yang telah terpuaskan, aku mulai merasa mataku berat. Aku mengacuhkan perutku yang berteriak kelaparan dan menutup mataku.
“Sera....” Kata seseorang memanggil namaku. Rasa lelahku masih terasa dan aku enggan membuka mataku.
“Sera....” Katanya lagi. Aku mulai kesal dengan suara itu, aku membalikkan badanku kearah berlawanan. “Kalau g’ mau bangun, aku yang habisin makan siangmu ya ....” Kata suara itu semakin jelas.
Aku-pun bangun setelah sadar perutku rasanya menyatu antara lapisan atas dan bawahnya. Aku merenggangkan badan dan mengambil piring berisi nasi dan lauk-pauk yang disodorkan Ami. Setelah berdoa, aku menyantap makan siangku yang seadanya. Sumbangan dari orang lain yang perduli terhadap kami.
Aku baru tertidur 20 menit, itu yang membuat kepala ku berdenyut sakit. Setelah selesai menyantap makan siangku, aku mengambil ancang2 untuk kembali rebahan dan tidur. Niat sudah ada, dan aku tinggal merebahkan badanku untuk tidur. Tiba-tiba, Ayah bersama para Bapak-bapak yang lain terlihat dari jauh. Aku duduk meninggikan kepala untuk memastikan dan itu benar-benar Ayah, tapi air muka mereka tampak tidak menyenagkan. ‘Pasti mereka tidak dapat bantuan dari pemerintah’. Pikirku seketika dan kembali berbaring.
“benar-benar sial orang-orang itu....” Kata salah seorang Bapak-bapak itu.
“Ya, terkutuklah mereka.” Katanya yang lain menyambut perkataannya.
“Manusia macam apa mereka itu ? kok bisa tidak punya hati seperti itu ?” kata yang lain lagi.
Mereka mulai sambut-menyambut menggunakan kata-kata kasar. Para Ibu menghampiri suami-suami mereka dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Tidak ada seorang-pun menanggapi perkataan istrinya. Mereka tetap bersahut-sahutan melontarkan kata-kata kasar.
“Yang tenang dong Bapak-bapak...” Kata kepala Desa menenangkan mereka.
“Ya g’ bisa dong Pak, kan karena mereka juga kita begini. Masak mereka mau lepas tangan gini aja.” Kata seorang bapak.
“Tapi, yang tenang dulu. Toh, kalau marah juga g’ nyelesein apa-apa. Benar gak yang saya bilang ?” kata Kepala Desa dengan lembut.
Yang lain terdiam dan menyembunyikan wajha mereka dari panas. Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Akupun bangun dari tidurku dan mengikuti mereka yang beramai berjalan menuju Balai Desa.
“Sekarang kita mau bagaimana ?” Tanya kepala Desa kepada warganya yang duduk didepannya.
“Lah, kok Bapak malah bertanya ? Bapak kan kepala Desanya.” Kata ayahku.
“Bukan gitu Pak Murdi, saya hanya ingin tahu apa ada dari kalian yang punya usul ?”
“Bakar sajalah tempat itu Pak.” Kata seseorang lagi.
“Astagfirullah.... Jangan begitu pak Usman, ini masih bisa dibicarakan baik-baik.”
“Sudah dua hari kita bicara baik-baiki dengan mereka, mereka malah mengusir kita kayak binatang begini. Saya ndak terima loh pak.” Kata seorang warga.
“Mungkin mereka cuman hilaf saja, besok kita bisa bicara lagi dengan mereka.”
“Bisa mati anak istriku kalau bapak masih mau undur perkara ini sampai besok.” Kata seorang lagi.
Musyawarah ini berubah menjadi lontaran kata-kata kasar. Akupun pergi dari balai Desa. Aku tidak menemukan anak-anak lain dijalan. Mereka semua berada di Balai Desa atau di pengungsian. Aku menuju goa dipinggir danau yang biasa anak-anak gunakan untuk bermain saat matahari terik. Tapi, aku hanya sendiri disana. Aku memandangi danau yang bau asam dan bangkai ikan yang masih mengapung dipinggir danau. Aku menatap langit yang nyaris tidak berawan yang menguatkan pemikiranku bahwa tidak akan ada hujan hingga besok, dan itu benar.
Panas masih sangat terik, aku beserta anak-anak lain bermain petak umpet untuk mengusir bosan kami di tenda pengungsian. Aku yang menjadi penjaganya, manghitung satu hingga lima puluh dibalik pohon kelapa.
Dua puluh sembilan.... tiga puluh...... tiga puluh satu.aku menghitung, tiba-tiba seseorang memukul pundakku. Aku menghentikan hitunganku dan berdiri tegak. Sekelompok pria berjas hitam lengkap dengan koper coklat ditangan kirinya. Aku bertanya-tanya didalam kepala. Siapa bapak-bapak ini.
“Balai Desa dimana ya, nak ?” tanya bapak yang memukul pundakku tadi.
Aku menunjuk kesebuah gedung yang terbuat dari bata dan semen. Bapak itu segera meninggalkanku dan menuju ke Balai Desa. Anak-anak lain mulai menghampiriku. Kamipun lupa dengan permainan itu dan berlari menuju Balai Desa dengan dipenuhi rasa penasaran yang besar.
Suasana tampak tegang di Balai Desa. Para Ibu-ibu mulai kasak kusuk berbisik dengan ibu-ibu lain ada disampingnya.
“Ehmm... “ Kepala Desa berdehem menenangkan suara bisikan ibu-ibu yang terdengar keras.
“Masalah kita terpecahkan sekarang. Bapak-bapak ini bersedia membantu kita walau tidak bisa sepenuhnya. “ Jelas Kepala Desa.
Semua tampak senang dengan perkataan Kepala Desa. Kepala Desa dan bapak-bapak berjas itu berjabat tangan, mereka menyerahkan koper pada Pak Kusnaidi, bendahara Desa.
Esok hari tampak lebih cerah, kami mendapat bantuan makanan dari para donatur dari berbagai daerah. Hari sedikt berawan, dan tampak tanda-tanda mau hujan. Oh, aku baru tahu bahwa isi koper itu adalah uang tanggung jawab dari sebuah pabrik dikawasan Industri. Uang itu akan digunakan untuk pembangunan desa kembali.
Kepala Desa menggunakan seperempat dana dikoper itu untuk membeli bibit padi, jagung dan jeruk untuk mengganti kegagalan panen sebab hujan asam. Kami mulai menanam itu sehari setelah bibt dibeli.
“Ini neraka...” teriak sorang didekat ladang. Aku sedang memperhatikan Kak Tomo yang sedang menyaring air dengan kulit kerang. Aku sangat penasaran apa yang terjadi, aku, Kak Tomo dan Ami, kami berlari menuju ladang.
“Tuhan sudah terlalu membenci kita....” Katanya lagi. Aku semakin mempercepat langkahku. Tampak Pak Bonar sedang mengenggam bibit padi yang baru ditanam kemarin.
“Ada apa ini pak ?” tanya Kepala desa.
“Sudah banyak dosa kita sama Tuhan Pak. Tuhan murka sekarang Pak...” Kata Pak Bonar.
“Memangnya ada apa Pak Bonar ?” tanya ibu-ibu pada Pak Bonar.
“Padi ini baru ditanam kemarin Bu, rencananya akan saya garap dan saya bajak hari ini. Tapi, tanaman ini sudah mati layu, Bu.” Jelas Pak Bonar.
Tanaman padi itu memang sudah layu, tampak sangat pucat dan tidak berdiri tegap seperti saat baru dibeli. Mungkin Tuhan memang sudah sangat marah dengan kita.
“Tanah ini mengandung zat asam, Pak !” Tiba-tiba Kak Tomo berbicara ditengah kebingungan kami. “Pasti gara-gara hujan.”
Warga tampak sangat mengerti dengan sedikit kata-kata Kak Tomo. Bahwa asam akan membuat tanaman tidak menyerap cukup mineral untuk proses fotosintesisnya. Aku-pun sedikit banyak mengerti apa yang dikatakan Kak Tomo. Kepala Desa menggaruk-garuk kepalanya. Aku mendekati Kepala Desa mencoba untuk menenangkannya.
“Pak De gak papa ?” tanyaku.
“Pak De sudah pakai seperempat dana untuk beli bibit, mana gagal semua lagi. Macam mana ini ??? Pusing Pak De, sudahlah terbang seperempat uang kita dilangit.” Kata Kepala Desa. Aku yakin Kepala Desa sangat pusing, ia menggaruk-garuk kepalanya dan mulai komat-kamit sendiri mempermasalahkan uang yang terpakai percuma itu.
Keadaan ini telah berlangsung tiga hari. Seluruh orang masih bingung apa yang seharusnya mereka perbuat. Gagal panen setelah hujan itu, ditambah lagi dengan tanah yang berubah menjadi asam, membuat kami tak dapat memulai bertanam lagi. Kak Tomo pergi kekota dari kemarin. Katanya dia akan mencari inspirasi.
Jam menunjukkan pukul 2 siang. Panas matahari sedang terik hampir menghadap hidung kami. Tampak dari jauh siluet seseorang yang berjalan menuju tenda pengungsian. Semakin dekat rasanya aku mengenal siluet. Baju kaos dan rambut acak-acakan, ya... itu kak Tomo. Dia kembali dari kota.
“Terus, apa yang kakak dapat ?” Tanyaku begitu Kak Tomo sampai dipengungsian.
Kak Tomo hanya tersenyum dan kemudian menegak air yang kusuguhkan. Pak RT lewat didepan tenda kami bersama ayahku. Kak Tomo bergegas tegak dan menghampiri Pak RT. Mereka-pun berbicara ditengah jalan. Atmosfernya tampak sangat berbeda dan seperti sebuah pembicaraan yang tidak bisa aku masuki.
Esok harinya, aku terbangun pukul 7 pagi, semua orang menghilang dari tenda. Aku mengamati sekelilingku namun nihil. Setengah ngeri dan mengantuk, aku berjalan menuju lapangan. Tepat, mereka ada dilapangan semua. Tampak Kak Tomo yang menjadi pusat perhatian mereka. Aku bergabung dengan kerumunan orang itu.
“Mereka ngapain, Ben ?” tanyaku pada Beni yang berdiri disampingku.
“Katanya sih lagi nyampurin tanah sama zat kapur gitu deh.” Jelasnya.
“Zat Kapur ?” tanyaku lagi.
“Hmmm... Kata Kak Tomo, zat kapur itu bisa menetralkan pH tanah. Jadi, setelah pemberian zat kapur ini, besok sudah bisa mulai menanam lagi.”
Aku hanya mengangguk sambil mengamati Kak Tomo meletakkan saperti debu putih kedalam tanah. Kemudian meyiramnya, mengaduk tanah lagi, memasukkan debu putih itu, kemudian meyiramnya lagi dan begitu seterusnya hingga beberapa kali.
Esoknya, tepat seperti yang dikatakan Kak Tomo. Tanaman jeruk yang ditanam masih sore tetap hidup. Padahal kemaren, sewaktu ditanam sore ini, malamnya sudah layu dan mati. Buru-burulah semua orang untuk menanam bibit yang ada bergotong royong.
Kak Tomo sedang duduk sambil mengipas-ngipaskan topi sahingga angin menghampiri wajahnya.
“Hujan asam itu nyeremin juga ya, kak !” kataku memulai pembicaraan.
Dengan tersenyum kecil, Kak Tomo berdiri dan berjalan menuju danau. “Kalau menyeramkan, toh salah kita sendiri juga kok, Ra.” Katanya.
Aku mengerti bahwa seluruh fenomena yang terjadi dibumi adalah hasil dari jerih payah kita mengolah bumi tanpa merawatnya. Ayahku hanyalah seorang tukang kayu yang tiap hari menebang kayu untuk kepuasan pelanggannya. Bukan hanya ayahku, hampir seluruh manusia begitu. Orang-orang dikota menggunakan kendaraan satu orang satu, padahal asap yang mereka keluarkan juga membantu penghancuran bumi ini. Tapi, siapa tahu ? Akupun bukan manusia sempurna.


cerpen lingkungan oleh MU.BA.ZIR. XI IA 7

[+/-] Selengkapnya...